Satu
demi satu, motor yang terparkir di garasi samping rumah aku keluarkan
ke teras depan. Memang hari masih pagi, teman-teman yang lain masih
tertidur dengan pulasnya. Kecuali Rama yang semenjak shubuh tadi pergi
untuk mengantar koran, dia memang nyambi kerja sebagai loper koran. Jam
di dinding masih menjukkan pukul enam kurang lima belas menit. Tak
mengherankan memang, tadi malam kita begadangan sampai adzan shubuh
terdengar. Entah mengapa, tiba-tiba kami berkeinginan untuk sekedar
berbagi cerita. Sesuatu yang sudah mulai jarang kita lakukan. Terutama
ketika berbagai macam praktikum dan laporan sudah mulai menerjang tanpa
henti. Memang berbagi cerita menjadi hal yang sering kami lakukan ketika
memasuki masa awal-awal kuliah.
Kami
tinggal berenam di rumah kontrakan ini. Aku dan tiga temanku, Ahmad,
Dzakir dan Rifai, memang sudah sahabat lama. Kami berteman semenjak
masih duduk di bangku SMA. Sedangkan satu orang yang lain, Ivan, adalah
teman kuliahku satu angkatan dan satunya lagi, Rama, teman kuliah dari
Dzakir. Rama dan Ivan sebenarnya kami ajak tinggal di kontrakan ini
hanya untuk memenuhi kuota dan memperingan biaya urunan kontrakan.
Lumayan, kami mengontrak rumah mungil dengan tiga kamar ini empat juta
pertahunnya. Kami sudah terhitung satu tahun lewat delapan bulan tinggal
di rumah ini.
Pertama
kali memang hubungan antara kami berempat dengan Ivan dan Rama kurang
begitu dekat. Namun seiring berjalannya waktu, mereka berdua pun
akhirnya bisa dekat dengan kami berempat. Semenjak itulah, kami berenam
suka berbagi cerita.
Kami
berenam kebetulan sama-sama kuliah di UGM. Aku dan Ivan kebetulan
kuliah di Jurusan Ilmu Komputer, Fakultas MIPA. Dzakir dan Rama kuliah
di Jurusan Perikanan, Fakultas Pertanian. Sedangkan Ahmad kuliah di
Fakultas Filsafat dan Rifai kuliah di Fakultas Hukum.
**
Tadi
malam sebenarnya kejadian tersebut berlangsung mengalir. Berawal dari
aku dan Ivan nonton bareng pertandingan sepakbola Liga Inggris antara
Chelsea lawan Manchester United. Kebetulan aku penggemar berat Chelsea,
sedangkan Ivan penggemar berat Manchester United. Agar suasana nonton
jadi lebih seru, kami bertaruh kecil-kecilan. Yang menang dapat jatah
dipijat oleh yang kalah. Seusai nonton, kami berdua memasak mie, yang
ternyata diikuti oleh yang lainnya, kecuali oleh Rama. Memang selama
beberapa hari ini, Rama terlihat murung dan suka menyendiri. Beberapa
kali kami secara bergantian bertanya, namun tak satupun jawaban kami
dapat.
Acara
makan mie bersama akhirnya berlanjut menjadi acara curhat bersama.
Mulai dari praktikum yang gagal, dosen yang galak, makanan di kantin
kampus yang semakin hari semakin mahal, sampai kisah cinta Ivan yang
selalu kandas sebelum sempat “proklamasi”.
Selama
kami curhat, Rama memilih untuk tiduran di kamarnya. Tak bergabung
dengan kami. Sampai akhirnya, Dzakir yang sekamar dengan Rama, lebih
memilih tidur di karpet ruang tengah.
**
Sesuai
kesepakatan tadi malam, hari ini kami berencana untuk jalan-jalan
bersama ke pantai. Meskipun hari minggu, kami kesulitan untuk bisa
menghabiskan hari bersama seperti ini. Kami berenam, memang punya
aktifitas lain di luar kuliah. Aku, Rama, Dzakir dan Rifai memilih untuk
aktif di lembaga intra kampus. Sedangkan Ivan dan Ahmad memilih aktif
di lembaga ekstra kampus. Rencana dadakan jalan-jalan ke pantai hari ini
saja, membuat kami harus menunda agenda masing-masing. Hari ini saja,
aku sudah berjanji dengan teman-teman BEM untuk memperbaiki majalah
dinding. Tak apalah, sekali-sekali kita perlu untuk sekedar menyenangkan
diri sendiri.
Akhirnya
pada pukul sepuluh kurang lima menit, kami berangkat menuju pantai
Depok. Pantai Depok terletak di sebelah barat Pantai Parangtritis. Di
Pantai Depok juga terdapat Tempat Pelelangan Ikan. Sempat kami mengajak
Rama ikut serta, tetapi ia enggan untuk ikut. Rama lebih memilih tinggal
di kontrakan. “Biar saya di sini saja, jaga kontrakan. Khawatir kalau
ada apa-apa”, jawabnya. Dengan tiga motor kami berangkat bersama-sama.
Memang,
keluarga Rama termasuk keluarga kurang mampu. Rama bisa kuliah di UGM
juga karena beasiswa. Uang kirimannya sangat terbatas, bahkan untuk
makan sehari-hari saja kurang. Membeli buku adalah sesuatu yang sangat
istimewa baginya. Untunglah, Ivan yang orang tuanya relatif berada,
mempunyai sepeda onthel yang jarang ia pakai. Sepeda tersebut akhirnya
ia berikan pada Rama, karena Ivan sendiri juga membawa motor. Bagi Rama,
sepeda sudah lebih dari cukup. Dengan mempunyai sepeda, ia tak perlu
mengeluarkan biaya transport ke kampus. Semenjak mengetahui kondisi
keluarganya, kami tak pernah lagi meminta Rama untuk ikut urunan biaya
listrik dan air bulanan.
**
Sekitar
pukul setengah dua belas, kami sampai di Pantai Depok. Hari ini sangat
cerah. Hari ini pantai ini terlihat sangat penuh. Kami memutuskan untuk
duduk-duduk terlebih dahulu di sisi barat pantai. Kurang lebih selama
satu jam kami bermain-main layaknya anak kecil. Bodoh amat dengan
komentar orang, yang penting hari ini memang kami gunakan untuk
bersenang-senang.
Setelah
kelelahan, kami memilih untuk memesan makanan di salah satu warung.
Sembari makan, kami membicarakan tentang apa yang terjadi tentang Rama.
Jujur saja, aku sendiri merasa risih dan kurang nyaman dengan sikap Rama
akhir-akhir ini. Ternyata apa yang kurasakan tak jauh berbeda dengan
apa yang dirasakan oleh teman-teman yang lain.
“Beberapa
hari yang lalu, sebelum tidur, aku pernah coba tanya pada Rama. Kamu
kenapa? Kok kelihatannya murung dan agak pucat?”, ucap Dzakir. “Dia
hanya menjawab. Nggak papa kok. Paling-paling cuma maag-ku lagi kumat.
Sudahlah gak usah dipikirin. Ntar paling sembuh-sembuh sendiri. Udah ah,
aku ngantuk banget.”, lanjut Dzakir.
“Aku
juga pernah tanya. Tapi yang gitu itu. Dia nggak ngomong apa-apa.
Ditanya baik-baik, eh … dia malah mlengos. Kalau bukan temen sendiri
udah aku damprat.”, tambah Ivan.
“Kelihatannya
dia punya masalah. Tapi nggak mau ngomong ke kita. Mungkin dia minder
atau sudah merasa nggak enak dulu sama kita. Kan semenjak kita tahu
kondisi keuangannya, kita nggak pernah minta ke dia uang urunan listrik
dan air.”, komentar Ahmad.
“Ya
nggak bisa gitu, dong. Temen, ya temen. Kita kan sudah seperti keluarga
sendiri. Kalau ada masalah, ya ngomong. Siapa tahu kita bisa bantu.
Kayak sama orang lain saja.”, keluh Rifai. “Aku dulu pas waktu nabrak
Reta, kan juga ngomong sama kalian. Akhirnya kita urunan untuk biaya
rumah sakit Reta.”, tambah Rifai.
“Iya.
Tapi kamu untung, kita-kita yang buntung. Kamu yang nabrak orang, kita
yang ikutan kena getahnya. Udah gitu, yang ditabrak malah kamu jadiin
pacar. Mrongos kita…”, timpal Dzakir. Kami pun tertawa.
Memang
pernah pada suatu ketika. Rifai menabrak seorang gadis yang sedang
menyeberang. Walau pelan, namun tak ayal membuat gadis tersebut
tangannya patah. Karena waktu itu dalam kondisi mendesak, kami akhirnya
memutuskan untuk urunan menutupi biaya operasi gadis tersebut.
Sampai-sampai pada waktu itu Rama merelakan sebagian besar uang jatah
bulanan dari beasiswanya. Memang gadis yang ditabrak Rifai wajahnya
cukup manis bagi kebanyakan orang. Dengan alasan agar terlihat
bertanggung jawab, Rifai sering menengok gadis yang ditabraknya itu.
Gadis itu ternyata karyawati baru Fakultas MIPA dan bernama Reta. Karena
sering bertemu, lama kelamaan mereka berdua pun jadian. Kata orang, itu
sengsara membawa nikmat.
Pembicaraan
kami mengenai Rama pun berlanjut. Sampai akhirnya kami sepakat, malam
nanti kami akan menyidangnya beramai-ramai. Terlihat kasar memang, namun
apa boleh buat. Hanya itulah alternatif penyelesaian yang tersisa. Tak
lupa pula, lima kilogram ikan segar kami bawa sebagai oleh-oleh. Tentu
bukan untuk untuk Reta, tetapi untuk Bu Ida, tetangga depan kami
sekaligus pemilik rumah yang kami kontrak. Yang selama ini sudah kami
anggap seperti ibu sendiri.
**
Bu
Ida memang jago masak. Balado ikannya memang dahsyat. Tak terasa dua
piring nasi sudah memenuhi perutku. Teman-teman yang lain juga sampai
kekenyangan. Tinggal Rama saja yang belum mencicipi balado ikan Bu Ida.
Bu Ida hanya senyam-senyum saja melihat kelakuan kami. Kebetulan waktu
itu, Bu Ida mengajak kami makan di rumahnya. Beliau juga sempat
menanyakan, mengapa Rama nggak ikut makan di tempatnya.
Seusai
ngobrol sejenak, kami pun kembali ke kontrakan. Kelihatannya ini adalah
waktu yang tepat untuk melaksanakan rencana kami tadi siang. Memang
pertama kali Rama terlihat malas sekali, namun karena kami memaksa
akhirnya ia mau juga.
“Ma,
kita ini berteman walau nggak begitu lama, tapi juga nggak bisa
dihitung sebentar. Kita ini sudah seperti keluarga. Masalah satu orang,
juga merupakan masalah bagi yang lain. Kita ini saling bantu. Jujur,
kami merasa risih dan nggak nyaman dengan sikapmu akhir-akhir ini. Walau
kamu masih tetap menjalankan tugas piket harian, tapi bukan hanya itu
yang kami minta. Dengan sikpamu selama ini kami merasa semakin nggak
nyaman tinggal di sini. Kayak ada orang lain saja yang tinggal di sini.
Selama beberapa hari ini, kalau kamu pergi juga nggak pernah bilang
kemana, pulang jam berapa. Pulang-pulang juga begitu, masukin sepeda,
trus langsung ke kamar, baca buku, nggak keluar-keluar seharian.
Keesokan harinya juga begitu, sepulang dari loper koran, mandi, trus
plas… ilang entah kemana. Kayak nggak ada orang lain aja di sini.”, buka
Rifai.
“Sebenarnya kamu ini kenapa? Ada masalah? Ngomong aja. Siapa tahu kita bisa bantu.”, tambah Ahmad.
Suasana
berubah menjadi hening sejenak, Rama hanya bisa terdiam dan tertunduk
lesu. Air mata terlihat mulai meleleh di pipinya. Dengan terbata ia
menjawab, “Jujur, aku beberapa hari ini instropeksi diri. Aku merasa
nggak enak dengan kalian. Selama ini aku nggak pernah ikut urunan bayar
listrik dan air. Mungkin bagi kalian nggak papa, tapi aku merasa nggak
enak. Trus kemudian beberapa hari yang lalu aku dapat kabar dari rumah.
Tahun depan kelihatannya aku nggak bisa bayar kontrakan, karena nggak
ada jatah dari orang tuaku. Uang jatah kontrakanku akan dipakai untuk
biaya adikku yang mau masuk SMA. Aku bingung harus cari uang darimana
untuk bayar uang kontrakan. Uang kiriman ditambah honor loper koran
ditambah dengan jatah bulanan dari beasiswaku juga habis untuk makan
sehari-hari. Sedangkan honor dari ngirim tulisan ke koran juga nggak
tentu. Jujur, aku jadi bingung.”
“Ma,
kami semua tahu bagaimana kondisi ekonomi keluargamu. Kami sudah maklum
dengan itu. Kalau memang kamu nggak bisa urunan lagi untuk bayar
kontrakan tahun depan, ya sudah, nggak papa. Santai aja. Kita-kita nggak
keberatan kalau harus menutupi bagianmu. Untuk tahun depan, kamu nggak
bisa urunan nggak papa. Kamu tetap tinggal di sini. Ntar bagianmu biar
aku yang tanggung.”, timpal Ivan.
“Jujur,
Van. Aku makin nggak enak sama kamu. Sepeda yang aku pakai sehari-hari
itu juga punyamu. Trus ini ditambah kamu bayarin jatah kontrakanku. Itu
uang orang tuamu, bukan uangmu.”, elak Rama.
“Ma,
uang itu cuman titipan dari Tuhan. Bukan orang tuaku atau aku yang
punya. Kamu nggak usah merasa nggak enak begitu. Toh semenjak tinggal
serumah dengan kamu aku juga banyak belajar dari kamu. Bagaimana caranya
bisa hidup prihatin dan hidup hemat. Jujur saja, mungkin kalau nggak
kenal kamu, mungkin tabunganku nggak akan pernah sebesar seperti
sekarang ini. Dulu sewaktu aku SMA, aku boros banget. Sehari aku bisa
menghabiskan seratus ribu hanya untuk nongkrong nggak jelas ngapain
dengan teman-temanku. Sekarang uang segitu bisa aku buat hidup selama
tiga-empat hari. Itu juga karena kamu yang ngajari aku. Mana yang
benar-benar kebutuhan, mana yang hanya sekedar keinginan, bagaimana
menentukan skala prioritas. Apa yang aku pelajari dari kamu itu, kalau
diuangkan nggak bakalan bisa keitung. Toh uang kiriman dari ortuku juga
berlebih.”, jawab Ivan.
Pembicaraan
kamipun mengalir, terlihat Rama sudah mulai semakin tenang. Rama yang
ceria sudah mulai terlihat kembali. Bersahabat bukanlah bisnis, yang
bisa dihitung secara matematis, apakah kita untung atau rugi.
Persahabatan takkan pernah bisa dihitung dengan uang. Bersahabat adalah
hubungan antar manusia yang paling tulus, tanpa pamrih. Dengan
sahabatlah kita berbagi suka dan duka, dari sahabatlah kita belajar
tentang kehidupan.
Malam
itu kami berenam melaluinya dengan nonton bareng pertandingan sepakbola
antara Arsenal melawan Tottenham Hotspur, the derby of North London.
Untuk kali ini gantian Ahmad dengan Rifai yang bertaruh. Ahmad
menjagokan Arsenal sedangkan Rifai merupakan penggemar berat Tottenham.
Untuk kali ini, yang kalah bakalan dapat tugas masak untuk sarapan kita
besok pagi.
Itulah tadi cerpen persahabatan yang saya buat kali ini. Nantikan cerpen-cerpen terbaru yang akan saya buat. Terus ikuti perkembangan blog ini. Terima kasih
Tidak ada komentar:
Posting Komentar